"Jika anda seorang Camera Person, bagaimana meliput Jurnalisme Bencana"
![]() |
Sumber : Shutterbug75 from Pixabay |
Beberapa
hari lalu, tepatnya pada hari Sabtu 18 September 2021 kemarin. Saya mengikuti
webinar yang diadakan oleh teman-teman dari JournalismDay yang bertema “Jurnalisme
Bencana Bukan Eksploitasi Kabar Bencana”. Banyak dari media modern sekarang
yang mengangkat sebuah bencana sebagai berita yang mudah memikat banyak pembaca.
Sayangnya, hal ini dilakukan seakan-akan menutup mata dari kondisi psikologis
dan fisik korban yang terkena imbas langsung dari bencana tersebut. Sehingga
menimbulkan pandangan tentang eksploitasi berita bencana.
Selain
itu, ada juga pandangan “Bad news is good news” atau “berita buruk
adalah berita bagus”. Pandangan ini yang membuat banyak media kemudian
memuat berita yang berisikan sudut pandang dari korban bencana tanpa meminta
persetujuan dari korban. Hal ini tentu saja menjadi poin yang perlu kita
perhatikan, bukan hanya hal teknis yang perlu diperhatikan. Tetapi kita juga perlu
melihat kondisi korban yang sedang terpukul oleh kejadian yang telah menimpanya.
Kita
juga melihat banyak media yang memuat berita bencana yang konteksnya terlihat
negatif dengan visual-visual yang kurang layak sehingga menimbulkan dampak
psikologis bagi para penonton. Padahal masih banyak poin- poin penting dan menarik
lainnya yang dapat dimuat dalam sebuah berita bencana. Contohnya seperti
mitigasi bencana agar Ketika terjadi bencana serupa, hal-hal yang tidak
diinginkan yang telah terjadi dapat diminimalisir dan yang paling penting tidak
memakan korban jiwa.
Kembali
pada judul artikel kali ini yaitu "Jika anda seorang Camera Person,
bagaimana meliput Jurnalisme Bencana". Pada webinar sabtu lalu, salah satu
narasumber, ibu Kencana Ariestyani M.Si yang juga seorang akademisi dibidang
ilmu komunikasi dan juga pernah bekerja sebagai jurnalis. Dalam webinar
tersebut Ibu kencana berbagi beberapa cerita ketika dirinya meliput berita
bencana. Salah satu cerita yang menarik menurut saya adalah ketika beliau sedang
dalam sebuah wawancara dengan seorang korban bencana.
Tiba-tiba
korban menangis di tengah wawancara dan ibu Kencana segera meminta wawancara
untuk dihentikan sementara kemudian ibu Kencana bertanya kepada korban tersebut
apakah beliau bersedia untuk melanjutkan wawancara dan korban pun mengiyakan. Setelah
wawancara selesai ibu Kencana juga Kembali bertanya kepada korban karena ketika
korban menangis sudah sempat terekam oleh kamera, apakah ibu bersedia jika
rekaman ibu menangis tadi kami masukan?. Setelah korban mempersilahkan beliau
untuk memuat hasil wawancara tersebut baru ibu Kencana melanjutkan pekerjaanya.
Poinnya
adalah, jika saya seorang Camera Person dalam sebuah liputan jurnalisme bencana.
Yang akan saya lakukan adalah mengambil gambar yang cukup menjelaskan tentang
kejadian yang terjadi di lokasi seperlunya tanpa melebih-lebihkan keadaan yang
terjadi di lapangan. sehingga pembaca mendapatkan berita yang akurat dan juga
tidak menimbulkan trauma atau ketakutan kepada pembaca maupun korban yang
terkait jika dalam liputan tersebut menayangkan wawancara dengan korban.
Terimakasih telah membaca artikel ini, jika terdapat kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf.
Komentar
Posting Komentar